Tentang Shalat
Shalat, sesuatu yang wajib yang jadi menantang di sini. Tantangannya tidak hanya soal tempat, tapi juga soal waktu dan wudhu.
Kalau di Indonesia kita masih memakai
kerangka berpikir bahwa shalat itu di masjid atau mushala (saat ke luar
rumah), maka di sini kita harus mengubah itu: bahwa shalat itu bisa
dilakukan di mana saja (selain di toilet dan kuburan tentunya). Tidak
mudah menemukan masjid/mushala di sini. Ada, tapi jumlahnya masih
sedikit sekali. Di kampus pun kadang tidak ada tempat khusus untuk
shalat. Saat bepergian, location hunting untuk shalat pasti
masuk dalam agenda kegiatan. Biasanya saya mencari tempat yang
kemungkinan tidak banyak dilalui orang. Shalat di pojokan ruangan, di
ruang ganti toko baju, di bawah tangga gedung, di taman, dsb sudah
biasa. Dilihat sampai difoto-foto orang pernah dialami, ditegur satpam
juga pernah. Awalnya saya akui itu susah, risih kalau dilihat orang,
shalat juga sering jadi tidak tenang. Di situ ujiannya. Tapi lama-lama
saya camkan ke diri saya supaya bisa secuek mungkin supaya shalatnya
bisa tenang. Tidak apa-apa dilihat orang, toh yang penting kita tidak
mengganggu, dan anggap saja kita mengenalkan Islam kepada orang yang
tadinya tidak mengenal Islam.
Dengan segala aktivitas yang dilakukan,
kita mesti menyesuaikan diri dengan waktu shalat. Kadang ada masanya di
mana ada kegiatan saat jam shalat lalu kegiatan itu tidak selesai
sebelum waktu shalat berikutnya, alhasil mesti cari cara supaya bisa
shalat. Minta izin sekitar 10 menit untuk shalat insyaAllah tidak
masalah. Komunikasikan saja dengan baik. Selain itu, dengan kondisi
Jepang sebagai negara empat musim, otomatis jadwal shalat akan
bervariasi sepanjang tahun. Ada kalanya subuh sekitar jam setengah 3
pagi, ada juga masanya subuh sekitar jam setengah 6 pagi. Timpang sekali
dengan di Indonesia yang jadwal shalatnya relatif sama sepanjang tahun.
Urusan berwudhu lagi-lagi tidak senyaman
di Indonesia. Jikalau di Indonesia imej dari toilet itu adalah basah,
maka di sini semua toilet kering. Saat berwudhu di wastafel pastinya ada
cipratan air yang membuat basah. Ini sebaiknya dikeringkan lagi seusai
berwudhu. Ga mau tentunya kalau sampai ada yang melabeli orang Islam itu
ga bersih.
Daripada ribet urusan wudhu, biasanya saya berwudhu dulu sebelum
bepergian, jadi saat masuk waktu shalat nanti kita tinggal shalat.
Tentang Puasa
Ramadhan salah satu masa di mana akan ada orang Jepang yang bertanya kenapa kita tidak makan dan minum pada siang hari. Another chance to introduce Islam.
Saat ini sebagian orang Jepang alhamdulillah sudah kenal istilah
Ramadhan, jadi insyaAllah lebih gampang menjelaskannya. Saya dulu surprise juga
saat saya akan ada agenda lab 3 hari di luar Tokyo, saya bilang bahwa
saya tidak pesan sarapan dan makan siang. Sudah berusaha menjelaskan
panjang lebar bahwasanya saya sebagai muslim ada masa satu bulan di mana
saya tidak boleh makan dari pagi blablabla, lalu profesor saya
bertanya, “Ramadhan?”. Haiyah. Seringkali mereka juga akan berkomentar,
“berat ya mesti puasa selama sebulan penuh”. Yaa, jawab saja dengan
senyuman bahwa kita sudah biasa melakukannya, hehe.
Saat saya di sini kebetulan Ramadhan itu
saat musim panas. Siang lebih panjang, otomatis waktu berpuasa jadi
lebih panjang juga dibanding di Indonesia. Tapi puasa di musim panas
tidak membuat lapar, kalau haus sih sudah pasti, hehe. Kalau puasa saat
musim dingin waktunya lebih pendek karena malam lebih panjang. Musim
dingin tidak membuat haus, hanya saja kita gampang lapar di musim
dingin. Tapi kalau niatnya sudah kuat, kondisi apapun insyaAllah tidak
jadi penghalang untuk berpuasa.
Tentang Makan dan Minum
Seperti yang saya tulis di tulisan sebelumnya,
urusan makan jadi tidak mudah di sini, disebabkan mayoritas makanan
yang beredar tidak halal. Ada sisi positifnya buat saya pribadi dari
kondisi ini: saya “dipaksa” untuk memasak serta belajar lagi soal konsep
halal-haram. Saya yang dulunya selama kuliah di Bandung tidak pernah
memasak sekarang jadi menikmati sekali kegiatan masak-memasak, hehe.
Di Jepang sepertinya kita tidak akan terhindar dari acara yang namanya 飲み会 (=nomikai). Sebuah drinking party yang sudah jadi budaya buat orang Jepang. Ada party pasti ada sake, bir, dkk. Tidak masalah untuk ikut party-nya,
yang penting tidak ikut minum minuman kerasnya. Orang Jepang juga
insyaAllah menghargai kita kok kalau kita bilang kita tidak minum
minuman keras. Pertama kali saya ikut nomikai lab, seorang rekan lab
pernah berkata kepada saya, “They don’t care whether you drink alcohol or not. They are happy that you join this party. So, don’t worry.”
Tentang Jilbab
Sebagai muslimah berjilbab, yang
mencolok dari penampilan kita tentunya jilbab. Alhamdulillah saat ini di
Jepang sudah cukup banyak muslimah berjilbab, jadi tidak perlu merasa
begitu aneh, hehe. Malah dari pengalaman saya pribadi, pakai jilbab
justru memberikan keuntungan. Jilbab adalah identitas para muslimah,
dari jilbab orang bisa tahu bahwa kita adalah umat Islam. Saat awal
kedatangan saya ke school office di kampus, saya ditanyai petugas di sana, “Do you need special place to pray?”.
Di Nishiwaseda Campus rupanya ada pojokan kecil buat shalat. Mungkin
kalau saya tidak berjilbab, saya tidak akan ditanyai itu. Dari jilbab
itu juga sebagian orang bakal langsung tau kalau saya tidak makan babi
dan tidak minum minuman keras.
Berjilbab juga artinya siap-siap saja
sewaktu-waktu ditanya-tanya oleh orang Jepang, hehe. Misalnya saja saat
musim panas saya beberapa kali ditanyai apakah saya tidak apa-apa pakai
jilbab panas-panas begitu, apa sebaiknya dilepas saja daripada
kepanasan. Ehehe. Kebalikan dengan saat musim dingin, mereka akan
berkomentar, sepertinya hangat yaa kepala ditutup seperti itu. Sering
ditanyai juga kapan saja saya pakai jilbab, apakah saya selalu pakai
jilbab kalau di rumah, nanti kalau sudah bersuami terhadap suami boleh
buka jilbab atau ga, apakah warna jilbabnya mesti warna tertentu, punya
berapa jilbab, beli jilbabnya di mana, dll. Pertanyaan yang bikin dilema
mungkin saat ditanya, kalau memang jilbab itu wajib, kenapa ada yang
tidak pakai jilbab? Lebih dilema lagi kalau ditanyanya pas lagi bareng
teman muslimah yang tidak berjillbab. Nah lo.
Tentang Masjid dan Adzan
Pernahkah Anda merasa rindu dengan
masjid dan suara adzan? Saya rasa sebagian besar orang yang pernah
tinggal di mana muslim adalah minoritas tau sekali rasanya seperti apa.
Suara adzan tidak ada sama sekali di sini, di masjid pun biasanya suara
adzan hanya dibuat bisa didengar di dalam masjid saja, tidak sampai
terdengar keras di luar. Mendengar adzan secara langsung setelah sekian
lama ga dengar itu kadang bikin merinding. Bertemu masjid itu rasanya
luar biasa sekali. Jangankan masjid, saat mudik ke Indonesia, pernah
suatu ketika pas lagi di jalan waktu untuk shalat sudah mepet, akhirnya
mampir dulu ke tempat makan. Saya tanya mas-masnya ada tempat shalat
atau tidak, akhirnya ditunjuki tempat kecil untuk shalat. Saya numpang
shalat di situ, dan saat itu rasanya ingin menangis mengingat begitu
mudahnya mendapatkan tempat shalat di Indonesia. Hidup di sini sudah
mengajarkan saya betapa berharganya ketersediaan tempat shalat, walau
itu hanya sepetak kecil.
Tentang Idul Fitri dan Idul Adha
Tahun pertama saya di Jepang, saya tidak
mudik ke Indonesia saat Lebaran, jadilah berhari raya di Tokyo ini.
Bagaimana rasanya? Rada sedih sih.
Di Indonesia malam sebelum Lebaran pastilah suara takbir menggema di
mana-mana menyambut hari kemenangan. Di sini jangan harap. Yaa, paling
bisa menghibur diri dengan dengar via internet, hehe. Kalau shalat ied,
saya ikut shalat ied di Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT). Di sana
pas shalat ied ramai sekali, takbiran juga ada sedikit, walau cuma bisa
didengar dari dalam SRIT-nya saja. Saat Idul Fitri, KBRI Tokyo biasanya
juga mengadakan open house, jadi kita bisa silaturrahim sambil
makan-makan di sana seusai shalat ied, hehe. Tapiii, setelahnya, ya
kembali lagi seperti hari biasa, suasana Lebarannya langsung hilang,
huhu. Begitu pula saat Idul Adha, shalat ied juga lumayan ramai, tapi
suasana kurbannya ga berasa, hehe. Sepertinya kurban orang-orang di sini
disalurkan ke Indonesia dan ga ada potong hewan kurban di sini
Oia, Idul Fitri dan Idul Adha tentunya
tidak jadi hari libur di sini. Pas saya di sini kebetulan Idul Fitri
jatuh pas libur musim panas, jadi tidak ada masalah. Pas Idul Adha,
kalau jatuhnya pas hari kerja, mesti mempertimbangkan apakah tidak masuk
kuliah demi shalat ied atau tetap masuk kuliah jadi tidak bisa ikut
shalat ied, hehe.
*****
Apapun tujuan kita menuju belahan bumi
Allah bagian mana pun, ada hal yang mesti kita pegang erat, yakni
keislaman kita. Kadang mudah, kadang susah, tapi saya yakin ada hikmah
dari semuanya.
There are so many “ladang amal” here. Everytime we study hard, everytime we struggle to find place for praying outside, everytime we keep ourselves away from haram food, every time we step our feet for finding knowledge, everytime the tears come streaming down our face because living here is so hard; everytime, everything could be great things if we do that just because of Allah. — Reisha Humaira
http://reisha.wordpress.com/2012/04/16/6-hidup-sebagai-muslimah-di-jepang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar