Jumat, 07 September 2012

Hidup sebagai Muslimah di Jepang

Tentang Shalat

Shalat, sesuatu yang wajib yang jadi menantang di sini. Tantangannya tidak hanya soal tempat, tapi juga soal waktu dan wudhu.
Kalau di Indonesia kita masih memakai kerangka berpikir bahwa shalat itu di masjid atau mushala (saat ke luar rumah), maka di sini kita harus mengubah itu: bahwa shalat itu bisa dilakukan di mana saja (selain di toilet dan kuburan tentunya). Tidak mudah menemukan masjid/mushala di sini. Ada, tapi jumlahnya masih sedikit sekali. Di kampus pun kadang tidak ada tempat khusus untuk shalat. Saat bepergian, location hunting  untuk shalat pasti masuk dalam agenda kegiatan. Biasanya saya mencari tempat yang kemungkinan tidak banyak dilalui orang. Shalat di pojokan ruangan, di ruang ganti toko baju, di bawah tangga gedung, di taman, dsb sudah biasa. Dilihat sampai difoto-foto orang pernah dialami, ditegur satpam juga pernah. Awalnya saya akui itu susah, risih kalau dilihat orang, shalat juga sering jadi tidak tenang. Di situ ujiannya. Tapi  lama-lama saya camkan ke diri saya supaya bisa secuek mungkin supaya shalatnya bisa tenang. Tidak apa-apa dilihat orang, toh yang penting kita tidak mengganggu, dan anggap saja kita mengenalkan Islam kepada orang yang tadinya tidak mengenal Islam. :)

Shalat berjamaah di Mt. Takao waktu Hiking Momiji PMIJ 2010. Kiblat pas mengarah ke bagian tempat orang lewat. Diliatin orang, tapi cuek saja.
Dengan segala aktivitas yang dilakukan, kita mesti menyesuaikan diri dengan waktu shalat. Kadang ada masanya di mana ada kegiatan saat jam shalat lalu kegiatan itu tidak selesai sebelum waktu shalat berikutnya, alhasil mesti cari cara supaya bisa shalat. Minta izin sekitar 10 menit untuk shalat insyaAllah tidak masalah. Komunikasikan saja dengan baik. Selain itu, dengan kondisi Jepang sebagai negara empat musim, otomatis jadwal shalat akan bervariasi sepanjang tahun. Ada kalanya subuh sekitar  jam setengah 3 pagi, ada juga masanya subuh sekitar jam setengah 6 pagi. Timpang sekali dengan di Indonesia yang jadwal shalatnya relatif sama sepanjang tahun.
Urusan berwudhu lagi-lagi tidak senyaman di Indonesia. Jikalau di Indonesia imej dari toilet itu adalah basah, maka di sini semua toilet kering. Saat berwudhu di wastafel pastinya ada cipratan air yang membuat basah. Ini sebaiknya dikeringkan lagi seusai berwudhu. Ga mau tentunya kalau sampai ada yang melabeli orang Islam itu ga bersih. :) Daripada ribet urusan wudhu, biasanya saya berwudhu dulu sebelum bepergian, jadi saat masuk waktu shalat nanti kita tinggal shalat. :)

Tentang Puasa

Ramadhan salah satu masa di mana akan ada orang Jepang yang bertanya kenapa kita tidak makan dan minum pada siang hari. Another chance to introduce Islam. :) Saat ini sebagian orang Jepang alhamdulillah sudah kenal istilah Ramadhan, jadi insyaAllah lebih gampang menjelaskannya. Saya dulu surprise juga saat saya akan ada agenda lab 3 hari di luar Tokyo, saya bilang bahwa saya tidak pesan sarapan dan makan siang. Sudah berusaha menjelaskan panjang lebar bahwasanya saya sebagai muslim ada masa satu bulan di mana saya tidak boleh makan dari pagi blablabla, lalu profesor saya bertanya, “Ramadhan?”. Haiyah. Seringkali mereka juga akan berkomentar, “berat ya mesti puasa selama sebulan penuh”. Yaa, jawab saja dengan senyuman bahwa kita sudah biasa melakukannya, hehe.
Saat saya di sini kebetulan Ramadhan itu saat musim panas. Siang lebih panjang, otomatis waktu berpuasa jadi lebih panjang juga dibanding di Indonesia. Tapi puasa di musim panas tidak membuat lapar, kalau haus sih sudah pasti, hehe. Kalau puasa saat musim dingin waktunya lebih pendek karena malam lebih panjang. Musim dingin tidak membuat haus, hanya saja kita gampang lapar di musim dingin. Tapi kalau niatnya sudah kuat, kondisi apapun insyaAllah tidak jadi penghalang untuk berpuasa. :)

Tentang Makan dan Minum

Seperti yang saya tulis di tulisan sebelumnya, urusan makan jadi tidak mudah di sini, disebabkan mayoritas makanan yang beredar tidak halal. Ada sisi positifnya buat saya pribadi dari kondisi ini: saya “dipaksa” untuk memasak serta belajar lagi soal konsep halal-haram. Saya yang dulunya selama kuliah di Bandung tidak pernah memasak sekarang jadi menikmati sekali kegiatan masak-memasak, hehe.
Di Jepang sepertinya kita tidak akan terhindar dari acara yang namanya 飲み会 (=nomikai). Sebuah drinking party yang sudah jadi budaya buat orang Jepang. Ada party pasti ada sake, bir, dkk. Tidak masalah untuk ikut party-nya, yang penting tidak ikut minum minuman kerasnya. Orang Jepang juga insyaAllah menghargai kita kok kalau kita bilang kita tidak minum minuman keras. Pertama kali saya ikut nomikai lab, seorang rekan lab pernah berkata kepada saya, “They don’t care whether you drink alcohol or not. They are happy that you join this party. So, don’t worry.” :)

Tentang Jilbab

Sebagai muslimah berjilbab, yang mencolok dari penampilan kita tentunya jilbab. Alhamdulillah saat ini di Jepang sudah cukup banyak muslimah berjilbab, jadi tidak perlu merasa begitu aneh, hehe. Malah dari pengalaman saya pribadi, pakai jilbab justru memberikan keuntungan. Jilbab adalah identitas para muslimah, dari jilbab orang bisa tahu bahwa kita adalah umat Islam. Saat awal kedatangan saya ke school office di kampus, saya ditanyai petugas di sana, “Do you need special place to pray?”. Di Nishiwaseda Campus rupanya ada pojokan kecil buat shalat. Mungkin kalau saya tidak berjilbab, saya tidak akan ditanyai itu. Dari jilbab itu juga sebagian orang bakal langsung tau kalau saya tidak makan babi dan tidak minum minuman keras.
Berjilbab juga artinya siap-siap saja sewaktu-waktu ditanya-tanya oleh orang Jepang, hehe. Misalnya saja saat musim panas saya beberapa kali ditanyai apakah saya tidak apa-apa pakai jilbab panas-panas begitu, apa sebaiknya dilepas saja daripada kepanasan. Ehehe. Kebalikan dengan saat musim dingin, mereka akan berkomentar, sepertinya hangat yaa kepala ditutup seperti itu. Sering ditanyai juga kapan saja saya pakai jilbab, apakah saya selalu pakai jilbab kalau di rumah, nanti kalau sudah bersuami terhadap suami boleh buka jilbab atau ga, apakah warna jilbabnya mesti warna tertentu, punya berapa jilbab, beli jilbabnya di mana, dll. Pertanyaan yang bikin dilema mungkin saat ditanya, kalau memang jilbab itu wajib, kenapa ada yang tidak pakai jilbab? Lebih dilema lagi kalau ditanyanya pas lagi bareng teman muslimah yang tidak berjillbab. Nah lo.

Tentang Masjid dan Adzan

Pernahkah Anda merasa rindu dengan masjid dan suara adzan? Saya rasa sebagian besar orang yang pernah tinggal di mana muslim adalah minoritas tau sekali rasanya seperti apa. Suara adzan tidak ada sama sekali di sini, di masjid pun biasanya suara adzan hanya dibuat bisa didengar di dalam masjid saja, tidak sampai terdengar keras di luar. Mendengar adzan secara langsung setelah sekian lama ga dengar itu kadang bikin merinding. Bertemu masjid itu rasanya luar biasa sekali. Jangankan masjid, saat mudik ke Indonesia, pernah suatu ketika pas lagi di jalan waktu untuk shalat sudah mepet, akhirnya mampir dulu ke tempat makan. Saya tanya mas-masnya ada tempat shalat atau tidak, akhirnya ditunjuki tempat kecil untuk shalat. Saya numpang shalat di situ, dan saat itu rasanya ingin menangis mengingat begitu mudahnya mendapatkan tempat shalat di Indonesia. Hidup di sini sudah mengajarkan saya betapa berharganya ketersediaan tempat shalat, walau itu hanya sepetak kecil.

Tentang Idul Fitri dan Idul Adha

Tahun pertama saya di Jepang, saya tidak mudik ke Indonesia saat Lebaran, jadilah berhari raya di Tokyo ini. Bagaimana rasanya? Rada sedih sih. :( Di Indonesia malam sebelum Lebaran pastilah suara takbir menggema di mana-mana  menyambut hari kemenangan. Di sini jangan harap. Yaa, paling bisa menghibur diri dengan dengar via internet, hehe. Kalau shalat ied, saya ikut shalat ied di Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT). Di sana pas shalat ied ramai sekali, takbiran juga ada sedikit, walau cuma bisa didengar dari dalam SRIT-nya saja. Saat Idul Fitri, KBRI Tokyo biasanya juga mengadakan open house, jadi kita bisa silaturrahim sambil makan-makan di sana seusai shalat ied, hehe. Tapiii, setelahnya, ya kembali lagi seperti hari biasa, suasana Lebarannya langsung hilang, huhu. Begitu pula saat Idul Adha, shalat ied juga lumayan ramai, tapi suasana kurbannya ga berasa, hehe. Sepertinya kurban orang-orang di sini disalurkan ke Indonesia dan ga ada potong hewan kurban di sini :P
Oia, Idul Fitri dan Idul Adha tentunya tidak jadi hari libur di sini. Pas saya di sini kebetulan Idul Fitri jatuh pas libur musim panas, jadi tidak ada masalah. Pas Idul Adha, kalau jatuhnya pas hari kerja, mesti mempertimbangkan apakah tidak masuk kuliah demi shalat ied atau tetap masuk kuliah jadi tidak bisa ikut shalat ied, hehe.
*****
Apapun tujuan kita menuju belahan bumi Allah bagian mana pun, ada hal yang mesti kita pegang erat, yakni keislaman kita. Kadang mudah, kadang susah, tapi saya yakin ada hikmah dari semuanya.
There are so many “ladang amal” here. Everytime we study hard, everytime we struggle to find place for praying outside, everytime we keep ourselves away from haram food, every time we step our feet for finding knowledge, everytime the tears come streaming down our face because living here is so hard; everytime, everything could be great things if we do that just because of Allah. — Reisha Humaira

http://reisha.wordpress.com/2012/04/16/6-hidup-sebagai-muslimah-di-jepang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar